Senin, 25 Januari 2010

PERANAN SEKOLAH SWASTA

Surabaya memiliki jenjang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas swasta yang jumlahnya berlipat-lipat jika dibandingkan dengan sekolah setingkat yang dikelola pemerintah ( Negeri ). Realita ini dapat dipahami bahwa sekolah swasta mempunyai tanggung jawab juga dalam mencerdaskan anak-anak seusia sekolah tingkat lanjutan tersebut, padahal tugas mencerdaskan Putra Bangsa ini jelas merupakan tanggung jawab pemerintah, karena pendidikan termasuk bagian dari layanan public dan swasta hanya sekedar partnership semata, oleh karena itu akses pendidikan harus merata dan berkeadilan.

Beban sekolah swasta sering terasa menjadi semakin berat manakala mendapatkan perlakuan yang tidak proporsional di lapangan, misalnya : jika out put sekolah swasta tidak sebaik sekolah negeri, pemerintah dan masyarakat sering memberi penilaian negative. Padahal akar masalahnya terletak pada inputnya yang jelas berbeda. Sering kita temukan kasus lulusan SD ataupun SMP Negeri yang karena nilai rata-ratanya UKMnya kurang dari patokan yang diinginkan untuk masuk sekolah negeri pada jenjang berikutnya menjadi beban sekolah swasta. ( Apa yang terjadi seumpamanya SEMUA SEKOLAH SWASTA juga tidak mau menerimanya dengan alasan yang sama ? Mereka menjadi tanggung jawab siapa ? Tentu mereka menjadi tanggung jawab pemerintah karena mereka juga bayar pajak juga. ) Kenyataannya swasta tetap mau menerima mereka yang dianggap tidak layak diterima di lembaga yang dikelola pemerintah dan dengan segala upaya serta kerja keras para guru sekolah swasta akhirnya berhasil juga mengantarkan mereka ke nilai maksimum rata-rata dalam ujian nasional tiga tahun berikutnya.

Dalam hal ini sekolah swasta mampu meng UPGRADE mereka ke nilai beberapa digit di atas nilai rata-rata UKM sebelumnya. Sementara teman-temannya yang nilai UKMnya mencapai rata-rata 7.00 atau bahkan lebih dapat diterima di SMPN atau SMAN, dan para gurunya tidak perlu kerja bersusah payah mengajar mereka. Karena mereka termasuk yang terbaik di antara yang baik, lalu tiga tahun berikutnya mereka lulus dengan nilai UNAS rata-rata tetap 7.00 berarti masih pada posisi semula.

Dalam kasus seperti ini semestinya pemerintah dan masyarakat obyektif menilainya, jangan asal melihat luarnya saja bahwa nilai 5,50 yang dicapai sekolah swasta berarti lebih jelek dari 7,00 yang dicapai negeri, lalu memvonis SWASTA JELEK tanpa melihat inputnya. Jika masyarakat awan yang menilai dengan cara demikian mungkin masih dapat dimaklumi, tetapi jika seorang terdidik seperti oknum DINAS PENDIDIKAN atau OKNUM PEMERINTAH sungguh keterlaluan. Karena keberhasilan pendidikan di Negara ini berarti keberhasilan dinas pendidikan sekaligus keberhasilan pemerintahnya. Sebaliknya kegagalan pendidikan juga kegagalan dan dosa dari Dinas Pendidikan beserta Pemerintah pula, di samping itu menilai tingkat keberhasilan pendidikan janganlah hanya dari segi nilai dan angka angka semata. Aspek perilaku dan akhlak jauh lebih penting. Tidak ada satu teoripun yang mengatakan bahwa yang pandai pasti dan dijamin lebih berhasil serta lebih sejahtera kehidupannya di kelak kemudian.